oleh

KEKUATAN HUKUM JAMINAN FIDUSIA

-NEWS, OPINI-481 Dilihat

FONNA.ID, Tangerang – Jaminan Fidusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, pasal 15 ayat (2) menyebutkan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

Dengan berdasarkan pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, oleh Penerima Fidusia berhak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri apabila debitor cidera janji atau tidak sanggup atau lalai membayar cicilan hutangnya;

Dalam melaksanakan eksekutorial terhadap objek fidusia, umumnya penerima fidusia memakai jasa penagihan atau dering dikenal dengan debutan debt collector. Para debt collector dalam melakukan penagihan sering melakukan tindakan-tindakan intimidasi, menakut-nakuti debitur, memasaki-maki, menarik paksa objek fidusia bahkan ada yang melakukan tindakan fisik;

Atas perbuatan dan tingkah laku para debt collector yang melakukan penarikan secara paksa dan tindakan yang tidak manusiawi terhadap debitur, maka berdasarkan Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020 telah membatalkan pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 yang amarnya Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;

Dan dengan dibatalkanya pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, maka Penerima Fidusia baru dapat melakukan penarikan objek fidusia apabila objek jaminan fidusia diserahkan sukarela oleh debitur atau apbila debitur tidak menyerahkan secara sukarela maka penerima fidusia harus mengajukan gugatan ke pengadilan dan wajib mengikuti prosedur eksekusi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;

Selain Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020, sebelumnya pernah ada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3192 K/Pdt/2012 dan dalam pertimbangannya menyebutkan: “Bahwa tindakan Tergugat I dalam melakukan penagihan kredit adalah tindakan tidak profesional karena mengutamakan penggunaan pendekatan intimidasi dan premanisme daripada pendekatan lain yang mendudukkan nasabah sebagai partner bank, dan oleh karena itu adalah layak dan adil apabila Tergugat dijatuhi hukuman untuk membayar ganti rugi kepada Penggugat yang lebih berat”;

Dan berdasarkan pertimbangan tersebut, kemudian Mahkamah Agung menghukum para Tergugat secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada Penggugat sebesar Rp1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);
Dan dari Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 Joncto Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 3192 K/Pdt/2012, penerikan objek fidusia oleh para debt collector atau penerima fidusia secara paksa tidak dibenarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Firman Harefa, S.H. Direktur LBH GEMPITA.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed