Mediafonna | Tangerang – Hak atas Tanah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan hak lain yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Hak-hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang tidak yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara;
Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dimilikinya;
Salah satu ha katas tanah adalah Hak Milik, pengertian Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 570 KUH-Perdata adalah hak untuk menikmati suatu barang secara leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan;
Hak milik dalam Pasal 570 KUH-Perdata mempunyai arti yang sangat luas karena benda yang dapat menjadi objek Hak Milik, tidak hanya benda tidak bergerak, tetapi juga benda yang bergerak. Lain halnya apa yang dirumuskan dalam Pasal 20 UUPA dimana dalam rumusan itu hanya mengatur benda yang tidak bergerak khususnya atas tanah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 UUPA yang menyebutkan bahwa Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai orang atas tanah;
Hak Milik damalam UUPA memiliki sifat 3T yaitu turun temurun, terkuat dan terpenuhi. Turun temurun artinya hak atas tanah tersebut tetap berlangsung meskipun yang mempunyai Hak Milik meninggal dunia dan berlanjut kepada ahli warisnya sepanjang masih memenuhi persyaratan sebagai Hak Milik. Terkuat artinya hak milik atas tanah ini berlangsung untuk jangka waktu yang tidak terbatas dan secara yuridis dapat dipertahankan terhadap pihak lain. Selanjutnya makna terpenuhi dalam Hak Milik artinya pemegang Hak Milik memiliki wewenang yang luas, yaitu pemegang Hak Milik dapat mengalihkan, menjaminkan, menyewakan bahkan menyerahkan penggunaan tanah tersebut kepada pihak lain dengan memberikan hak atas tanah yang baru seperti Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atau hak untuk dipergunakan sebagai usaha pertanian maupun non pertanian seperti untuk rumah tempat tinggal atau mendirikan bangunan untuk tempat usaha, dan lain-lain;
Perolehan hak milik berdasarkan Pasal 584 KUH Perdata, hak milik dapat diperoleh dengan cara pemilikan, perlekatan, daluwarsa, pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat dan karena penunjukkan atau penyerahan berdasar atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik.
Yang dimaksud dengan Perolehan hak milik melalui penunjukkan atau penyerahan berdasarkan atas suatu peristiwa perdata untuk memindahkan hak milik adalah adalah adanya peristiwa atau hubungan hukum yang menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan suatu benda tertentu ke dalam kepemilikan orang yang menerima penyerahan. Dasar penyerahan itu bisa berupa perjanjiann seperti perjanjian jual beli, sedangkan tindakan hukum sepihak atau undang-undang seperti wasiat;
Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar penyerahan berhasil menjadikan pihak yang menerima penyerahan itu sebagai pemilik atas benda yang diserahkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 584 KUH-Perdata adalah :
1. Penyerahan itu didasarkan atas suatu peristiwa perdata;
2. Yang menyerahkan harus orang yang mempunyai kewenangan bertindak bebas atas benda itu.
3. Pengecualian dari orang yang mempunyai kewenangan mengambil tindakan pemilikan atas suatu benda selain dari pemilik benda yang bersangkutan, adakalanya hak itu ada pada orang lain, seperti curator (Pasal 441 jo. Pasal 446 dan Pasal 452 BW; Pasal 24 jo. Pasal 69 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), wali (Pasal 363 BW) atau bewindvoerder (Pasal 1019 BW), namum dalam hal ini mereka bertindak atas nama pemiliknya;
Dalam peradilan Indonesia dikenal Asas Rechtsverwerking, pengertian asas rechtsverwerking adalah hilangnya atau lepasnya hak seseorang untuk menuntut karena tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Menurut J. Satrio, rechtsverwerking diartikan merelakan hak dan merupakan suatu pernyataan bahwa yang bersangkutan tidak mau lagi menggunakan hak yang dipunyainya.
Asas Rechtsverwerking dapat kita jumpai dalam hukum positif Indonesia, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Pokok Agraria, Peraturan Pemerinta dan beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung, sebagai berikut :
1. Pasal 1967 KUH-Perdata menyebutkan : “Semua tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena kedaluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan orang yang menunjuk adanya kedaluwarsa itu, tidak usah menunjukkan suatu alas hak, dan terhadapnya tak dapat diajukan suatu tangkisan yang didasarkan pada itikad buruk”;
2. Pasal 27 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, yang menyebutkan bahwa Hak-hak atas tanah dapat hapus apabila adanya pencabutan hak berdasarkan pasal 18, karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, karena diterlantarkan, dan arena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2);
3. Pasal 32 ayat (2) PP No 24 Tahun 1997 dalam frasa “….pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam jangka waktu (5) lima tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut”;
4. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 210/K/Sip/1955 (Kasus di kabupaten Pandeglang, Jawa Barat) yang berbunyi “Gugatan tidak dapat diterima, oleh karena para penggugat dengan mendiamkan selama 25 tahun dianggap telah menghilangkan haknya (rechtsverwerking)”;
5. Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI Nomor 408 K/Sip/1973 tanggal 9 Desember 1975 yang berbunyi: “Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan Mahkamah Agung: Karena Para Penggugat-Terbanding telah selama 30 tahun lebih membiarkan tanah-tanah sengketa dikuasai oleh almarhun Ny. Ratiem dan kemudian oleh anak-anaknya, hak mereka sebagai ahli waris yang lain dari almarhum Atma untuk menuntut tanah tersebut telah sangat lewat waktu (rechtsverwerking)”;
Penggunaan Asas Rechtsverwerking baik dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah maupun dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, dapat diketahui bahwa penekanan penggunaan konsep asas rechtsverweking bukanlah menyangkut soal masalah jangka waktu (daluwarsa), melainkan upaya dan/atau tindakan pihak tertentu dalam memperjuangkan dan mempertahankan haknya dalam kurun waktu tertentu. Apabila seseorang tidak melakukan serangkaian upaya atau tindakan apapun guna memperjuangkan dan mempertahankan haknya, berarti yang bersangkutan sudah tidak lagi mempergunakan suatu hak dan pihak tersebut kehilangan haknya untuk menuntut kembali.
Asas rechtsverweking sering dijumpai dalam peristiwa perkara jual beli tanah, ketika seseorang menjual tanah kepada pihak pembeli, kemudian penjual baru mengetahui adanya kekeliruan atau cacat hukum didalam perjanjian jual beli tanah tersebut setelah 30 (tiga puluh) tahun, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1967 KUH-Perdata penjual dianggap telah melepaskan haknya (rechtsverwerking) untuk menuntut haknya terhadap kelalaian atau cacat hukum tersebut;
Bahwa konsep Asas Rechtsverwerking tidak hanya dipakai dalam masalah hilangnya kepemilikan tanah, akan tetapi dapat juga dipakai dalam hak menuntut kasus-kasus yang lainnya seperti Perkara jual beli mobil bekas, ketika seseorang membeli mobil bekas, yang mana mobil bekas itu dikatakan mulus oleh si penjual, kemudian sesampainya di rumah pembeli memeriksa dan menemukan ternyata ada cacat tersembunyi pada mobil bekas tersebut, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1504 KUHPerdata bahwa penjual harus menjamin terhadap cacat tersembunyi, tetapi si pembeli tidak mempersoalkannya, tidak melakukan komplain kepada penjual dan memakainya begitu saja, maka dengan demikian secara mutatis mutandis pembeli tersebut telah melepaskan haknya (rechtsverwerking) untuk menuntut haknya terhadap cacat tersembunyi tersebut;
Bahwa pemilik tanah yang tidak mengurus dan/atau menguasai tanahnya selama 30 (tiga puluh) tahun, maka berdasarkan Pasal 1967 KUH-Perdata pemilik tanah tersebut dianggap telah melepaskan haknya atau merelakan haknya atau yang bersangkutan tidak mau lagi menggunakan hak yang dipunyainya untuk menuntut oranglain, dengan demikian seseorang yang menguasai tanah tersebut tidak perlu membuktikan alas haknya;
Untuk konsultasi hukum dapat menghubungi kantor hukum FIRMAN HAREFA, S.H., & Partner di WA : 0812 8997 6450;
Penulis : Firman Harefa, S.H., Advokat/Pengacara & Konsultan Hukum serta Direktur Lembaga Bantuan Hukum Gempita Jakarta;
Red/
Komentar