oleh

Patar Sihaloho, SH.: Majelis Hakim Perkara Richard Eliezer Tidak Terikat pada Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Mediafonna.id | Tangerang – Hukum Indonesia mengenal Azas Ultra Petita atau Asasiu Dex Non Ultra Petita atau Ultra Petita Non Cognascitur, oleh karena itu Majelis Hakim Perkara Richard Eliezer Tidak Terikat pada Tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Oleh Advokat Patar Sihaloho, SH., Alumni Universitas Katholik Santo Thomas Medan.

Senin, 16 Januari 2023, Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf dituntut dengan hukuman yang sama yaitu pidana penjara selama delapan Tahun. Selasa, 17 Januari 2023, Jaksa Penuntut Umum menilai Ferdy Sambo terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama dan melanggar Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Juga terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindak pidana yang berakibat terganggunya system elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya, melanggar ketentuan Pasal 49 jo Pasal 33 UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik jo Pasal 55 KUHP. Oleh karena itu, JPU menuntut,”menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ferdy Sambo dengan Pidana seumur hidup”.

Rabu, 18 Januari 2023, Jaksa menyatakan terdakwa Putri Candrawati terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 jo Pasal 55 ayat (1) KUHP. Oleh karena itu, JPU menuntut, “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Putri Candrawati dengan pidana penjara selama delapan tahun”. Sementara Barada E dituntut 12 tahun penjara. Kelima terdakwa diatas didakwa melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 jo Pasal ayat (1) KUHP.

Tuntutan Hukuman JPU di atas sontak membuat masyarakat Indonesia “berteriak dan kecewa”, seketika ribuan bahkan jutaan ciutan kekesalan dan protes yang dituangkan dalam bentuk status di media sosial. Masyarakat Indonesia berteriak, Ini Tidak Adil. Kecaman dari berbagai pihak terus membanjiri media-media social bahwa warga Negara tetanggapun geleng-geleng kepala melihat “warna keadilan” di Negara ini.
Sejak awal partisipasi masyarakat dalam mengawal perkara ini cukup ketat dan militan. Disamping terlibatnya hampir ratusan personil kepolisian dalam perkara ini, membuat perkara ini mempunyai daya tarik dan kekuatan magnetis terhadap masyarakat umum.

ULTRA PETITA

Hal yang sangat sulit apabila keadilan sosial berbenturan dengan keadilan hukum. Jaksa Penuntut Umum sudah membuat keputusan keadilan hukum dalam perkara a quo namun di sisi lain Jaksa sangat tidak peka dengan rasa keadilan sosial/masyarakat. Tetapi “game” ini belumlah berakhir, semua bentuk kekecewaan masyarakat akan terjawab tuntas manakala Hakim Majelis sudah membacakan putusan (vonis). Hakim mempunyai kewenangan absolut dan mandiri dalam memutus perkara yang ditanganinya.

Hukum Indonesia mengenal Azas Ultra Petita atau Asasiu Dex Non Ultra Petita atau Ultra Petita Non Cognascitur, diatur dalam Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR serta dalam Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBG jo. Pasal 67 huruf C UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pengertian Ultra Petita sendiri adalah melebihi yang diminta, sehingga makna ultra petita adalah menjatuhkan putusan oleh Hakim atas perkara yang tidak dituntut atau memutus melebihi apa yang dituntut. Hakim tidak terikat dan atau terbelenggu pada tuntutan, tetapi Hakim terikat pada Dakwaan, karena itu Hakim Majelis yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo bisa menjatuhkan vonis yang lebih berat atau yang lebih ringan.

Idealnya suatu putusan hakim itu harus memuat idee desrech yang meliputi azas kepastian hukum (rechtsichherheit), azas keadilan (gerechttigheit) dan azas kemanfaatan (zwechtmassigheit). Pekerjaan yang sangat sulit untuk memasukkan azas kepastian hukum (rechtsichherheit), azas keadilan (gerechttigheit) dan azas kemanfaatan (zwechtmassigheit) dalam jiwa suatu putusan. Maka para ahli hukum berpendapat, jika azas kepastian hukum berbenturan dengan azas keadilan maka yang harus ada dalam jiwa putusan adalah azas keadilan. Jika azas kepastian hukum berbenturan dengan azas kemanfaatan maka azas kemanfaatanlah yang harus ada dalam jiwa putusan. Azas keadilan dan kemanfaatan harus dikedepankan karena Hakim dalam membuat putusan harus berpegang pada azas yang mendasar dalam suatu putusan yaitu “Demi keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Harapan Masyarakat Indonesia, khususnya Para Pencari Keadilan dalam kasus kematian Brigadir Yosua Hutabarat saat ini berada ditangan Hakim majelis. Hakim Majelis dalam perkara a quo harus berani keluar dari bingkai suatu azas atau aturan hukum yang tidak dapat mewujudkan atau menjawab rasa keadilan dan kemanfaatan, karena tugas Hakim adalah mewujudkan dan menegakkan keadilan bukan menegakkan peraturan perundang-undangan. Sehingga menurut saya dalam perkatra a quo demi terwujudnya keadilan, maka Hakim boleh melakukan azas ultra petita.

Pemidanaan terhadap seorang terdakwa sepenuhnya tergantung pada penilaian dan keyakinan Hakim Majelis terhadap bukti-bukti dan fakta yang terungkap pada persidangan. Hal ini sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan, “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya”. Maka Hakim Majelis dapat menjatuhkan putusan pidana yang lebih rendah, sama atau lebih tinggi dari rekuisitor JPU. Putusan Hakim Majelis yang melebihi tuntutan JPU secara normative tidak melanggar Hukum Acara Pidana.

Red/

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed