oleh

Pernyataan Sikap Aliansi Mahasiswa Melawan Bersama Rakyat Banten

Mediafonna.id – Banten | Pada 2 November 2020 UU Cipta Kerja disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Majelis Hakim Konstitusi menegaskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) cacat secara formil. Untuk itu, Mahkamah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat.

 

Demikian Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dibacakan dalam sidang putusan. Dalam putusan yang berjumlah 448 halaman tersebut, Mahkamah juga memerintahkan kepada pembentuk undangundang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.

 

Salah satu substansi baru dalam UU P3 adalah berlakunya metode omnibus sebagai opsi penyusunan regulasi. Artinya, sebuah undangundang bisa mengatur lebih dari satu bidang persoalan. UU P3 selama ini tidak memungkinkan DPR dan pemerintah membentuk regulasi dengan metode omnibus. Inilah yang dipersoalkan MK dan membuat UU Cipta Kerja belum bisa diterapkan walau sudah disahkan sejak awal November 2020.

 

Masuknya opsi omnibus melalui revisi UU P3, kata Fitri Arsil, pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, merupakan jalan pintas DPR dan pemerintah untuk melegalkan UU Cipta Kerja. Saat ini, tertanggal 7 Januari 2023, Pemerintah dengan kasarnya memaksakan substansi UU Cipta Kerja yang serampangan dan tidak berkeadilan ini untuk tetap diterapkan yaitu dengan mengalihkannya menjadi Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang diteribitkan pada 30 Desember 2022 dan bukannya meninjau kembali kemudian merevisi UU Cipta Kerja sesuai dengan Putusan MK yang telah menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat dan maksimal waktu perbaikan selama 2 tahun. Hal ini membuat kita semakin bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dengan substansi dalam UU Cipta Kerja sehingga pemerintah sebegitu memaksakannya dengan segala cara, dahulu mulai dari RUU P3 yang digunakan untuk melancarkan proses pengesahannya dan sekarang bukannya diperbaiki malah diubah ke Perpu sedangkan seluruh pasal bermasalahnya masih dilanggengkan dalam Perpu tersebut.

 

Penerbitan Perppu Ciptaker ini merupakan sinyal kuat bagaimana Pemerintah mendudukkan rakyat dalam proses legislasi. Ada tiga corak utama yang lahir sejak 2019 yang terus berulang hingga kini dalam proses legislasi.

 

Pertama, memposisikan rakyat sebagai pihak yang berhadapan dengan Pemerintah dalam proses legislasi. Pesan ini terang dan jelas apabila kita memerhatikan bahwa dalam setiap dinamika dalam proses pembentukan undang-undang, kerap terlontar kalimat “kalau menolak RUU ini, silakan maju ke MK” dari Pemerintah. Alih-alih menempatkan rakyat sebagai mitra dalam proses penyusunan, yang terjadi justru memposisikan rakyat sebagai lawan; padahal rakyat-lah yang akan terdampak dalam pelaksanaan suatu undang-undang. Pengenyampingan partisipasi rakyat terlihat dari program “sosialisasi” yang praktiknya adalah safari komunikasi satu arah dari pihak Pemerintah, yang kemudian diklaim sebagai pemenuhan syarat partisipasi.

 

Kedua, menempatkan pemangku kepentingan dalam posisi tidak seimbang dalam perencanaan, penyusunan dan pembahasan produk hukum. Terlihat bahwa ada perbedaan dalam pelibatan pihak-pihak terdampak dalam proses legislasi. Contohnya bisa dilihat dari penyusunan Omnibus Cipta Kerja di tahun 2019 hingga KUHP di tahun 2022. Hanya mereka yang memiliki kepentingan sama dengan Pemerintah yang mendapat karpet merah mendapat panggung untuk didengar. Namun kelompok buruh, kelompok disabilitas, kelompok minoritas agama, kelompok minoritas seksual, serta kelompok masyarakat rentan lainnya justru terdiskriminasi dengan tidak mendapat ruang dan pelibatan secara aktif dalam penyusunan produk hukum tersebut.

 

Ketiga, kerancuan dalam skala prioritas materi muatan legisasi. Pertimbangan kekosongan hukum yang seharusnya menjadi salah satu prasyarat utama dalam pembentukan Perppu tidak terpenuhi dalam Perppu Cipta Kerja. Justru mandat dari putusan MK untuk menyusun ulang UU Omnibus Cipta Kerja tersebut malah secara aktif diabaikan oleh Pemerintah dengan keluarnya Perppu ini. Argumentasi kepentingan ekonomi dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja ini juga memberikan kode yang membingungkan bagi rakyat. Apabila ada kebutuhan pengencangan anggaran karena potensi ekonomi yang memburuk, mengapa justru ada pengeluaran uang dengan skala massif, misalnya untuk membangun IKN dan memaksakan pembentukan UU IKN. Contoh lain adalah keluarnya agenda demi agenda legislasi yang sebetulnya tidak ada urgensi namun diduga keras demi mengakomodir kepentingan elit; seperti revisi UU KPK di tahun 2019, revisi UU MK di tahun 2020 hingga UU IKN di tahun 2022.

 

Penerbitan Perppu Ciptaker semakin menegaskan bahwa rakyat tidak ada artinya bagi Pemerintah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Keharusan untuk menghadirkan partisipasi bermakna justru direspon dengan semakin mendangkalkan saluran-saluran partisipasi masyarakat. Hal tersebut terlihat dari dua Perppu yang baru saja terbit pada tahun 2022, yakni Perppu Pemilu dan Perppu Ciptaker. Tidak hanya pada tingkat pembentukan Perppu, penyumbatan ruang partisipasi bermakna juga dilakukan pembentuk UU dalam beberapa kesempatan seperti UU Ibu Kota Negara (UU IKN) dan KUHP. Sekalipun MK telah beberapa kali menegaskan dalam putusannya tentang pentingnya partisipasi yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sinyal yang diterima rakyat adalah praktik ugal-ugalan Pemerintah dalam proses legislasi demi memenuhi kepentingan oligarki.

 

Dengan ini Dengan ini, kami Aliansi Mahasiswa Bergerak Melawan Bersama Rakyat Banten Menolak segala upaya deregulasi PERPPU CIPTAKER yang di lakukan oleh pemerintah dan menuntut pemerintah untuk :

 

  1. Revisi pasal-pasal PERPPU Ciptaker yang berkaitan dengan Skema Outsourcing dan sistem kerja kontrak
  2. Wujudkan Kesejahteraan kelas Pekerja dengan meninjau ulang Skema Upah dalam pasal pengupahan Perppu Ciptaker.
  3. Tolak fleksibilitas tenaga kerja, denganm enolak Labor Market Flexybility
  4. Perbaiki pasal-pasal Perppu dalam sektor agraria mengenai pengadaan tanah, dan wujudkan reforma agraria sejati
  5. Kembilikan marwah konstitusi, hentikan represifitas dan kriminalisasi terhadap gerakan demonstrasi

 

(Red/Admin)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed