oleh

Firman Harefa, SH : Perbandingan Perlakukan Hukum Antara Penistaan Agama yang Dilakukan Meliana dengan Penistaan Agama yang dilakukan Wawan Kurniawan

Mediafonna | Tangerang – Heboh kasus penistaan agama sehubungan adanya pemberitaan terkait dibebaskannya Wawan Kurniawan pelaku pembubaran ibadah yang sedang berlangsung di Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) Lampung oleh Kejaksaan Negeri Bandarlampung atas dugaan tindak pidana penistaan agama, kehebohan terjadi baik di dunia nyata maupun di dunia maya, yang kebanyakan memberikan tanggapan bahwa pasal penistaan agama yang berlaku di Indonesia diperuntukan untuk agama minoritas dan tidak berlaku untuk agama mayoritas, Apakah benar demikian, mari kita bandingan penitaan agama yang dilakukan olen Meliana dengan Wawan Kurniawan ?.

Oleh Firman Harefa, S.H., selaku Ketua LBH PSI Banten memberikan perbandingan antara putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 1612/Pid.B/2018/PN.MDN, tanggal 21 Agustus 2018, Jo. putusan Banding Nomor: 784/Pid/2018/PT MDN, tanggal 25 Oktober 2018, Jo. putusan Kasasi Nomor: 322 K/Pid/2019, tanggal 27 Maret 2019 yang amar putusannya menyatakan Terdakwa MELIANA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dimuka umum melakukan penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia dan menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan hukuman penjara selama 1 (satu) Tahun dan 6 (enam) Bulan;

Dengan dijatuhinya hukuman terhadap Meliana, berarti Majelis Hakim yang memeriksa perkara tersebut menilai bahwa Meliana terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156 a KUHP atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya.

Putusan yang dijatuhkan kepada Meliana berbanding terbalik dengan pertimbangan dari Kejaksaan Negeri Bandarlampung yang disampaikan pada hari Kamis, 12 Mei 2023, yang mengatakan Wawan Kurniawan Ketua RT 12 Rajabasa Jaya, yang menerobos ke dalam gereja dan membubarkan ibadah yang sedang berlangsung di Gereja Kristen Kemah Daud (GKKD) Lampung, tidak termasuk tindak pidana melakukan penistaan agama seperti yang disangkakan sebelumnya, akan tetapi pelaku hanya melakukan perbuatan tidak menyenangkan dengan memasuki perkara rumah tempat ibadah dan membubarkan ibadah yang sedang berlangsung tanpa izin dari pemilik rumah ibadah, sehingga pelaku hanya melanggar Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 167 KUHP yaitu memasuki pekarangan rumah tanpa izin.

Dari kedua peristiwa tindak pidana penistaan agama tersebut dapat disimpulkan yang dimaksud dengan penistaan agama berdasarkan pertimbangan hakim adalah perbuatan seseorang yang menyampaikan protes secara lisan terhadap atribut-atribut keagamaan orang lain yang menurut pelaku atribut tersebut menggangu lingkungannya sehingga dapat dikategorikan merupakan perbuatan penistaan agama.

Sedangkan peristiwa tindak pidana penistaan agama menurut Kejaksaan Negeri Bandarlampung dengan memberikan pertimbangan bahwa perbuatan pelaku yang melarang dan membubarkan ibadah agama Kristen Kemah Daud yang sedang berlangsung serta adanya kerusakan-kerusahan yang timbul akibat pembubaran tersebut adalah bukan merupakan penistaan agama;

Jadi pertimbangan kedua institusi penegak hukum tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penistaan agama unsurnya hanya ucapan secara lisan yang menyinggung agama mayoritas, sedangkan tindakan nyata seperti membubarkan ibadah da/atau melakukan pengrusakan tempat ibadah agama minoritas tidak termasuk unsur penistaan agama.

Selain itu, berdasarkan pasal 38 KUHP mengatur tentang alasan pelaku tidak dapat mempertanggung jawabkan tindak pidana yang dilakukannya karena menyandang ganggugan mental. Pasal ini juga berlaku bagi pelaku yang melakukan pembubaran ibadah atau pengrusakan tempat ibadah minoritas apabila pelakunya menyandang ganguan mental, sehingga pelaku tidak dapat dipidana atau dibebaskan dari tuntutan pidana.

Gangguan mental sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 KUHP adalah apabila pelaku pada waktu melakukan Tindak Pidana pembubaran ibadah dan/atau pengrusakan tempat ibadah agama minoritas, pelaku sedang menyandang gangguan DISABILITAS MENTAL dan/atau DISABILITAS INTELEKTUAL, sehingga pelaku tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya dan/atau pelaku tidak dapat dihukum dan/atau pelaku harus dibebaskan;

Yang dimaksud dengan “DISABILITAS MENTAL” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku pelaku, dimana pelaku sedang menyandang gangguan mental antara lain gangguan PSIKOSOSIAL dan gangguan DISABILITAS.

Yang dimaksud dengan gangguan PSIKOSOSIAL dan gangguan DISABILITAS adalah sebagai berikut :

a. Ganggugan PSIKOSOSIAL, seperti , SKIZOFRENIA (gangguan mental yang menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi, delusi, dan perubahan perilaku), BIPOLAR (gangguan mental yang ditandai dengan perubahan drastis pada suasana hati), DEPRESI (gangguan suasana hati yang ditandai dengan kesedihan mendalam dan kehilangan minat pada hal-hal yang disukai. Seseorang didiagnosis menderita depresi jika merasa sedih, putus asa, atau tidak berharga selama 2 minggu), ANXIETY (rasa cemas atau hal yang normal dirasakan ketika seseorang menghadapi situasi atau mendengar berita yang menimbulkan rasa takut atau khawatir), dan GANGGUAN KEPRIBADIAN (salah satu jenis penyakit mental yang menyebabkan penderitanya memiliki pola pikir dan perilaku yang tidak normal dan sulit untuk diubah); dan

b. Gangguan DISABILITAS perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, seperti : AUTIS (autism spectrum disorder adalah sebutan bagi orang-orang yang mengalami gangguan pada sistem sarafnya dan mempengaruhi perilakunya sehari-hari atau yang disebut juga dengan neurobehaviour) dan HIPERAKTIF (kondisi dimana anak tidak bisa diam atau bahkan sulit untuk focus).

Sedangkan yang dimaksud dengan “DISABILITAS INTELEKTUAL” adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain, lambat belajar, disabilitas grahita, dan down sgndrome.

Terhadap pelaku tindak pidana yang menyandang “disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual” menurut hukum pelaku dinilai kurang mampu untuk menginsafi tentang sifat melawan hukum dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat berdasarkan keinsafan yang dapat dipidana.

Apakah gangguan mental disematkan kepada pelaku pembubaran ibadah agama Kristen Kemah Daud Lampung, hanya Pelaku, Kejaksaan Negeri Lampung dan Tuhan yang tau. Red/Risman

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed