oleh

Hukum Membawa Senjata Tajam Dengan Alasan Pertahanan Diri (Self Defence) dari Tindakan Kejahatan di Jalanan

Mediafonna.id | Tangerang – Hukum Membawa Senjata Tajam dengan Alasan Pertahanan Diri (Self Defense) dari Tindakan Kejahatan di Jalanan, materi ini disajikan pada diskusi hukum yang diselenggarakan di Basecamp Rudy Golden Boy (Golden Camp Muaythai) Serpong oleh Advokat Firman Harefa, S.H., dari Law Office Firman Harefa & Partners dan Ketua LBH PSI Banten. Sabtu, 11/02/2023.

Apakah diperbolehkan membawa senjata berupa pisau pada saat berpergian dengan alasan untuk mempertahankan diri dari tindakan kejahatan di jalanan dan bagaimana hukumnya ?. Inilah pertanyaan yang sering muncul bila ada kejadian seorang penjahat babak belur dihajar oleh korbannya sendiri.

Peraturan mengenai membawa senjata untuk pertahanan diri (Self Defense) atau peraturan mengenai senjata apa saja yang diperbolehkan untuk pertahanan diri hingga sampai saat ini belum ada Peraturan khusus yang mengaturnya, justru yang ada adalah pelarangan membawa senjata tajam tanpa izin dari yang berwenang, walaupun dengan alasan senjata tersebut dibawa untuk mempertahankan diri (self defense) dari tindak kejahatan dijalanan.

Undang-Undang yang melarang membawa senjata tanpa izin adalah UU Darurat No. 12 Tahun 1951 yang melarang memiliki senjata api, senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag, steek, of stootwapen) tanpa izin dari yang berwenang.

Pasal 1 ayat (1) UU Darurat No. 12/1951 berbunyi :

Barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak, dihukum dengan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya dua puluh tahun.

Pasal 2 ayat (1) UU Darurat No. 12/1951 berbunyi :

Barang siapa yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperolehnya, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan atau mengeluarkan dari Indonesia sesuatu senjata pemukul, senjata penikam, atau senjata penusuk (slag-, steek-, of stootwapen), dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

Adapun pengecualian dari larangan membawa senjata tanpa izin adalah :

  1. Senjata yang digunakan sebagai alat pekerjaan pertanian, pekerjaan rumah tangga, atau untuk melakukan pekerjaan lain atau jika senjata tersebut adalah barang pusaka atau barang kuno atau barang ajaib (merkwaardigheid). Vide Pasal 2 ayat (2) UU Darurat 12/1951:
  2. Senjata yang dapat digunakan untuk kepentingan olahraga yaitu senjata api, pistol angin (air Pistol) dan senapan angin (air Rifle); dan airsoft gun. Vide Pasal 4 ayat (1) Perkapolri No. 8 Tahun 2012 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api.
  3. Memperoleh izin dari Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur di dalam Pasal 15 ayat (2) huruf e Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  4. Memperoleh izin dari Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Militer Di Luar Lingkungan Kementerian Pertahanan Dan Tentara Nasional Indonesia (“Permenhan 7/2010”).

Namun demikian penggunaan senjata untuk pembelaan diri, menjadi salah satu alasan pemaaf yang menghapus perbuatan tindak pidana, apabila senjata tersebut dipergunakan dengan didahului serangan atau ancaman terhadap dirinya sendiri maupun orang lain, atau terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain. Penggunaan senjata untuk pembelaan diri dikenal dengan istilah pembelaan terpaksa yang diatur di dalam Pasal 49 KUHP.

PEMBELAAN DIRI

Pembelaan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 49 KUHP dibagi menjadi dua yaitu :

  1. Pembelaan Diri (Noodweer) diatur dalam Pasal 49 ayat (1) dan
  2. Pembelaan Diri Luar Biasa (Noodweer Excess) diatur dalam Pasal 49 ayat (2).

Pasal49 ayat (1) KUHP menyebutkan:

Barang siapa terpaksa melakukan perbuatan untuk pembelaan, karena ada serangan atau ancaman serangan ketika itu yang melawan hukum, terhadap diri sendiri maupun orang lain; terhadap kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda sendiri maupun orang lain, tidak dipidana.

Sedangkan Pasal 49 ayat (2) KUHPberbunyi:

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Syarat agar penggunaan senjata untuk pembelaan diri atau pembelaan terpaksa adalah :

  1. Serangan dan ancaman yang melawan hak yang mendadak dan harus bersifat seketika (sedang dan masih berlangsung) yang berarti tidak ada jarak waktu yang lama, begitu orang tersebut mengerti adanya serangan, seketika itu pula dia melakukan pembelaan.
  2. Serangan tersebut bersifat melawan hukum (bersifat wederrechtelijk), dan ditujukan kepada tubuh, kehormatan,dan harta benda baik punya sendiri atau orang lain.
  3. Pembelaan tersebut harus bertujuan untuk menghentikan serangan, yang dianggap perlu dan patut untuk dilakukan berdasarkan asas proporsionalitas dan subsidiaritas. Perbuatan harus seimbang dengan serangan, dan tidak ada cara lain untuk melindungi diri kecuali dengan melakukan pembelaan dimana perbuatan tersebut melawan hukum.

Pembelaan Terpaksa (Noodweer) merupakan alasan pemaaf yang menghapus elemen “Melawan Hukum”. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) bukan merupakan alasan yang membenarkan perbuatan melanggar hukum, melainkan seseorang yang terpaksa melakukan tindak pidana dapat dimaafkan karena terjadi pelanggaran hukum yang mendahului perbuatan itu.

Misalnya, jika ada begal yang menodong kita dengan pisau, hukum pidana membenarkan tindakan kita untuk melawan penodong tersebut, dengan cara seketika menendang tangan penodong hingga pisaunya terjatuh, padahal menendang termasuk penganiayaan (mishandeling).

Adapun perbedaannya dengan Pembelaan Terpaksa yang Melampui Batas (Noodweer excess) adalah terletak pada syarat adanya “keguncangan jiwa yang hebat”, dalam bentuk kecemasan, perasaan cemas yang dirasakan secara teramat sangat (dahsyat), rasa takut, dan kemarahan hebat, yang berakibat terganggunya keadaan jiwa atau batin seseorang sehingga mengubah serangan tersebut menjadi pembelaan diri yang berlebihan.

Hal tersebutlah yang menyebabkan batas-batas keperluan pembelaan dilampaui, walaupun serangan dari penyerang itu sendiri sebenarnya telah berakhir. Maka kondisi yang demikian, menjadi suatu alasan pemaaf yang menghapus elemen kesalahan (schuld), dari orang yang membela diri secara berlebihan tersebut.

Dalam menentukan sebuah kejadian merupakan lingkup perbuatan membela diri, aparat penegak hukum perlu meninjau satu persatu kronologi kejadian, dengan memperhatikan unsur-unsur pembelaan diri yang telah ditentukan undang-undang pada peristiwa-peristiwa itu. Keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilindungi dari serangan, dengan kepentingan hukum yang dilanggar dengan pembelaan, atau keseimbangan antara cara pembelaan yang dilakukan, dengan cara serangan yang diterima. Apabila terdapat cara perlindungan lain untuk menghalau serangan atau ancaman, maka pembelaan tidak boleh dilakukan dengan memilih cara paling berat dengan mengorbankan nyawa seseorang.

Red/

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed