oleh

Bayangan Pidana dan Narasi Risman Harefa Diantara Pendapat Para Profesor Terkait Putusan Sistem Pemilu

Tangerang Selatan – Mediafonna.id | Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Rahasia Negara adalah informasi, benda, dan/atau aktivitas yang secara resmi ditetapkan dan perlu dirahasiakan untuk mendapat perlindungan melalui mekanisme kerahasiaan, yang apabila diketahui oleh pihak yang tidak berhak dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan, keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau dapat mengakibatkan terganggunya fungsi penyelenggaraan negara, sumber daya nasional, dan/atau ketertiban umum, yang diatur dengan atau berdasarkan Undang-Undang. (Sabtu, 03/06/23)

Salah satu postingan Prof. Denny  Indrayana, S.H.,LL.M.,Ph.D., dalam media social twitter dikutip oleh penulis “Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan pemilu legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja. Info tersebut menyatakan, komposisi putusan 6 berbanding 3 dissenting. Hal ini dapat ditemukan pada link :  https://twitter.com/dennyindrayana/status/1662692250554609664?s=20

Kemudian Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H.,S.U.,M.I.P., yang saat ini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam)  merespon pernyataan Prof. Denny  Indrayana, S.H.,LL.M.,Ph.D., soal putusan MK tentang sistem pemilu. Pria yang akrab dipanggil Prof. Mahfud ini menyebut, Polisi harus menyelidiki yang disebut menjadi sumber Prof. Denny. https://twitter.com/mohmahfudmd/status/1662794302244945920?s=20

 

Lanjut Prof. Mahfud mengatakan, “putusan MK tidak boleh dibocorkan sebelum dibacakan. Meski ia pernah menjabat sebagai Ketua MK, ia mengaku tidak berani meminta isyarat apalagi bertanya tentang vonis selama menjabat”.  https://twitter.com/mohmahfudmd/status/1662796513746231298?s=20

Hal ini kemudian di klarifikasi atau ditanggapi oleh Prof. Denny  Indrayana, S.H.,LL.M.,Ph.D., melalui rilisan di akun twitternya  https://twitter.com/dennyindrayana/status/1663351868901441537?s=20

 

Dari penelusuran penulis dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang masih kita gunakan saat ini terdapat beberapa ketentuan mengenai pembatasan atas informasi atau informasi yang harus dirahasiakan terkait dengan rahasia negara, dan sanksi pidana bagi orang yang telah memberikan informasi rahasia mengenai suatu hal tertentu tersebut. Salah satu ketentuan yang masuk klasifikasi kejahatan atas informasi rahasia negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur pada Pasal 112 KUHP “Barang siapa dengan sengaja mengumumkan,atau memberitahukan, atau memberikan surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan pada Negara asing, sedangkan ia tahu bahwa surat-surat, berita-berita atau keterangan-keterangan itu harus di rahasiakan untuk kepentingan Negara, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Hemat saya sebagai penulis, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri tidak memiliki ketentuan khusus yang mengatur mengenai tindak pidana informasi rahasia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengatur mengenai larangan untuk menyiarkan surat-surat rahasia dan larangan kepada orang untuk membuka rahasia. Kalaupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebut sesuatu yang berkaitan dengan sesuatu yang disebut sebagai informasi rahasia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan penjelasan yang spesifik sehingga dalam penafsiran dan praktiknya sering didasarkan pada jenis dan sifat dari suatu benda atau barang yang dikualifikasikan sebagai rahasia itu, seperti surat-surat, berita-berita, dan keterangan-keterangan itu.

Bahwa adapun yang berkaitan dengan rahasia negara, harus ada klausul yang menjelaskan bahwa surat-surat, berita-berita dan keterangan-keterangan yang ada tersebut sangat penting bagi keamanan dan keselamatan negara sehingga terhadapnya harus dianggap  surat-surat, berita-berita dan keterangan-keterangan tersebut merupakan rahasia negara. Oleh karenanya, secara umum yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah tindak pidana membuka rahasia, baik itu yang berkaitan dengan informasi rahasia negara maupun rahasia jabatan. Nah, dua jenis tindak pidana inilah yang diatur secara jelas dalam Buku II KUHP, khususnya Bab I untuk yang berkaitan dengan keamanan negara dan Bab XVII untuk rahasia jabatan.

Disini penulis mengajak pembaca untuk mengetahui bahwa obyek penting terkait pasal tersebut adalah informasi-informasi yang harus dirahasiakan untuk “melindungi kepentingan umum negara” dan sedikitpun tidak membahas atau menyebutkan “kepentingan umum masyarakat”, jelas bahwa yang diatur lebih banyak merupakan upaya memberikan informasi daripada memperoleh informasi. Hal ini dapat diketahui dari kata-kata “barang siapa dengan sengaja; mengumumkan; memberitahukan; memberikan; menyerahkan; menyebabkan diketahui atau dikuasai; membuka”. Artinya larangan yang dimaksud dalam pasal ini ditujukan terhadap orang-orang yang memiliki akses terhadap informasi-informasi yang harus dirahasiakan sehingga tidak sembarang orang dapat melakukan perbuatan sebagaimana ditentukan dalam pasal tersebut.

Disisi lain menurut penulis yang menjadi subyek dari perbuatan ini para pejabat negara yang karena jabatan dan profesinya memiliki akses dan tanggungjawab terhadap hal-hal yang dijadikan rahasia negara, yakni orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perlindungan pertahanan dan keamanan negara, seperti anggota angkatan bersenjata, departemen pertahanan, lembaga sandi negara, kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dinas intelejen dan lain-lain. Oleh karenanya, menurut penulis jika memang tujuan dari ketentuan ini untuk menegakkan perlindungan pertahanan dan keamanan negara, pemerintah, dalam hal ini aparat berwenang, harus memperjelas sanksi bagi apara penegak hukum yang kerap menyalahgunakan wewenang mereka.

Pada narasi kali ini penulis bermaksud menyarankan supaya ada batasan atau parameter atas informasi yang dilindungi oleh negara seperti apa yang harus dirahasiakan. Apakah terbatas untuk kepentingan pertahanan keamanan negara ataukah dimungkinkan pula di luar hal tersebut? Sehingga ditafsirkan tidak saja rahasia untuk kepentingan negara yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara namun juga terhadap semua rahasia untuk kepentingan negara di luar pertahanan dan keamanan Negara, jangan kemudian  aturan hukum yang mengatur kerahasiaan informasi negara masih sangat umum atau longgar dan tanpa parameter yang jelas.

Sebab menurut penulis dengan tidak adanya definisi dan parameter yang jelas mengenai informasi yang dirahasiakan berdampak pada suatu kondisi dimana pejabat publik atau setiap orang dengan mudahnya memberikan klasifikasi rahasia negara terhadap berbagai informasi yang berada dalam kekuasaannya. Kondisi ini bertambah parah ketika orang tersebut menetapkan suatu informasi menjadi rahasia tanpa parameter yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan dalih rahasia tidak jarang informasi tersebut disalahgunakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Selain menyarankan, disini penulis hendak merekomendasikan supaya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana memuat rumusan yang jelas sehingga tidak menimbulkan multi penafsiran dan membuka peluang diselewengkan oleh aparat pemerintah atau pejabat Negara dan orang perorangan sebab setelah penulis bandingkan pasal-pasal yang mengatur mengenai informasi dan rahasia keamanan Negara ini di Undang-Undang yang baru masih mengatut model aturan hukum yang lama bedanya hanya pada penyesuaian zaman dan hukuman yang semakin berat. Perlu diatur batasan atau ruang lingkup atau parameter informasi apa saja yang harus dirahasiakan untuk kepentingan pertahanan dan kemanan negara serta kepentingan instansi pemerintah. Sehingga ketentuan yang dibuat tidak dimaksudkan untuk membatasi hak publik untuk mendapatkan informasi.

Sampai narasi penulis ini dimuat oleh mediafonna.id Mahkamah Konstitusi sendiri belum memutuskan perkara a quo dan masih terus bergulir di meja hijau. (Penulis/Risman Harefa/Red)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed