oleh

Dampak Penyerobotan Drainase Dan Bahu Jalan Untuk Kepentingan Pribadi Pendirian Ruko

Mediafonna.id | Tangerang Selatan – Baru-baru ini sangat hangat ditelinga kita dimana seorang Ketua RT011/RW 03 Kelurahan Pluit, Riang Prasetya, bernyali tinggi untuk menertibkan dan melakukan pembongkaran bangunan yang menutupi saluran air dan menyerobot bahu jalan. Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2021 Pasal 190 ayat 1, yang mana pemilik ruko tidak mematuhi ketentuan pemanfaatan ruang dalam rencana tata ruang (KKPR/KDTR). Bunyinya: “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 dikenakan juga kepada orang yang tidak mematuhi ketentuan Pemanfaatan Ruang dalam RTR”

Langkah yang diambil oleh ketua pak Rt ini sangat tegas dan tepat, jika kita lihat dari manfaatnya dimana kota Jakarta saat ini sering digenangi Banjir disaat hujan deras dan juga tidak lepas dari masalah Kemacetan lalu lintas. Dalam Pasal 6 UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa Pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan penanggulangan bencana. Termasuk kegiatan melindungi masyarakat dari dampak bencana, menjamin pemenuhan hak masyarakat yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum, serta mengurangi risiko bencana.

Hal tersebut bahwa drainase merupakan salah satu faktor penting dalam berlalu lintas dan juga pejalan kaki. Dengan tidak adanya saluran drainase ataupun kurang berfungsinya saluran air disaat hujan maka menimbulkan masalah bagi semua orang disekitar itu dan juga semua pengguna jalan akibat kebanjiran dan jalan yang macet. Drainase Perkotaan merupakan drainase yang dapat berfungsi sebagai pengelola maupun pengendali air banjir di permukaan agar tidak mengganggu dan merugikan masyarakat sekitar. Bila kita lihat pada Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 131 ayat (1) disebutkan bahwa penggunaan trotoar merupakan hak untuk para pejalan kaki. Artinya, apabila trotoar digunakan untuk berjualan tentu sudah menyalahi aturan.

Jika kita lihat yang bertanggung jawab disini untuk menertibkan fasilitas umum menjaga dan merawatnya merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah, karena fasilitas umum itu timbul dan dibeli dari uang rakyat sehingga kembali kepada masyarakatnya untuk menggunakannya kembali bukan untuk milik pribadi.

Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) dikenal istilah penutupan jalan. Yakni, penutupan jalan akibat penggunaan jalan untuk penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya, yang dapat dilakukan pada jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota, dan jalan desa (Pasal 128 ayat (1) jo. Pasal 127 ayat (1)

Sesuai penjelasan Pasal 127 ayat (1), penyelenggaraan kegiatan di luar fungsinya, antara lain untuk kegiatan keagamaan, kenegaraan, olahraga dan/atau budaya.

Artinya, kegiatan perdagangan atau kegiatan berjualan tidak termasuk “penyelenggaraan kegiatan di luar fungsi jalan” yang diatur menurut UU LLAJ.

Walau tak diatur mengenai penutupan jalan untuk berdagang/berjualan, akan tetapi UU LLAJ mengatur mengenai sanksi pidana jika terjadi gangguan fungsi jalan dan fasilitas pejalan kaki (trotoar),

Diantaranya diatur dalam Pasal 28 ayat (1), Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan.”

Kemudian, Pasal 274 ayat (1), “Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/atau gangguan fungsi Jalan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 24 juta.”

Lalu, Pasal 25 ayat (1) huruf g, “Setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan, salah satunya berupa fasilitas untuk pejalan kaki.

Selanjutnya, Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 25 ayat (1),”Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan Jalan, dalam konteks ini yang dimaksud adalah trotoar sebagai fasilitas untuk pejalan kaki yang terganggu fungsinya menjadi tempat berdagang.”

Dan, Pasal 275 ayat (1) jo. Pasal 28 ayat (2), “Setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi fasilitas Pejalan Kaki dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250 ribu.”

Selain UU LLAJ, dasar hukum lain yang mengatur mengenai penggunaan jalan untuk kegiatan di luar fungsi jalan yang dilakukan tersebut berdasarkan bunyi dari pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 12/PRT/M/2014 Tahun 2014 diterapkan. Dan dengan adanya undang-undang nomor 2 tahun 2022 tentang perubahan kedua undang-undang nomor 38 tahun 2004 tentang jalan, dalam pasal 1 ayat 1 perlu ditegaskan supaya terjaga ketertiban umum. Dalam penertiban Ruko Niaga yang memakan bahu jalan, menutup saluran air dan menutup trotoar buat pejalan kaki.

Menurut saya, selain langkah pembongkaran bangunan tersebut dilakukan dapat juga ditempuh melalui jalur perdata, yakni dapat dengan cara mengajukan Gugatan ke Pengadilan Negeri setempat. Sehingga hal tersebut dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH), sebagaimana hal itu diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) dengan bunyi “Tiap perbuatan hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Menurut Munir Fuady terdapat 3 jenis ganti rugi yaitu, bisa berupa ganti rugi nominal (memberikan dengan sejumlah uang tertentu), ganti rugi kompensasi (pembayaran kepada pihak yang dirugikan atas sebesar kerugian yang dialaminya), dan ganti rugi penghukuman (ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya). (Penulis/Seriaman Telaumbanua/Editor/Red)

 

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed