oleh

Kewenangan tunggal Otoritas Jasa Keuangan dalam Penyidikan Tindak Pidana Sektor Jasa Keuangan berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK)

-OPINI-146 Dilihat

Mediafonna.id | Tangerang Selatan – UU P2SK diundangkan pada tanggal 12 Januari 2023, merupakan undang-undang yang menerapkan metode omnibus. Bagian menimbang huruf C UU a quo menyebutkan: bahwa upaya pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan, dapat dilakukan perubahan Undang-Undang di sektor keuangan dengan menggunakan metode omnibus guna menyelaraskan berbagai pengaturan yang terdapat dalam berbagai Undang-Undang ke dalam 1 (satu) Undang-Undang secara komprehensif. Bahwa Penggunaan metode omnibus dalam penyusunan ditandai dengan UU P2SK memuat materi muatan baru (65 Pasal), mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam 16 UU (274 Pasal); mencabut 1 UU (1 Pasal) dan mencabut beberapa ketentuan dalam 1 UU ( 1 Pasal).

Pasal 49 UU OJK tentang kewenangan penyidikan sektor jasa keuangan sebelum diubah oleh UU P2SK adalah sebagai berikut: “Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya yang meliputi pengawasan sektor jasa keuangan di lingkungan OJK, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.” (Pasal 49 ayat (1)

Kemudian, Pasal 49 tentang kewenangan penyidikan sektor jasa keuangan UU OJK setelah diubah oleh UU P2SK menjadi sebagai berikut: “Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan”. (Pasal 49 ayat (5))

OPINI/PENDAPAT :
Bahwa persoalan utama yang terdapat pada UU P2SK adalah : Pasal 49 ayat (5) UU P2SK (mengubah Pasal 49 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan) mengakibatkan hanya penyidik Otoritas Jasa Keuangan yang berwenang untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan. Keberadaan Pasal 49 ayat (5) UU P2SK yang menyatakan: Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan
hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan. Telah mengakibatkan tidak berwenangnya lagi penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdinas di institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan sebagaimana telah dilakukan selama ini (sebelum adanya UU P2SK). UU P2SK di Pasal 341 menyatakan: Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan, maka konsekuensinya sejak diundangkan 12 Januari 2023 UU P2SK telah berlaku dan mengikat secara umum sehingga membawa suatu keadaan hukum baru yaitu hanya penyidik Otoritas Jasa Keuangan yang berwenang/berhak untuk melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan dan selain penyidik Otoritas Jasa Keuangan tidak lagi memiliki kewenangan tersebut.

Keberadaan pasal-pasal tersebut telah menyebabkan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak lagi memiliki kewenangan dalam melakukan penyidikan atas tindak pidana perbankan, perbankan syariah, pasar modal, dan perasuransian. Selama ini sebelum adanya UU P2SK penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan melakukan penyidikan atas tindak pidana perbankan, perbankan syariah, pasar modal, dan perasuransian, dengan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu Pasal 1 angka 1, Pasal 6 ayat (1), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 14 ayat (1) huruf g) dan Undang-Undang sektoral yaitu UU Perbankan, UU Perbankan Syariah, UU Pasar Modal dan UU Perasuransian.

Bahwa menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam Undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”

Sedangkan yang dimaksud dengan penyidik dalam Pasal 1 ayat(1) Undang-undang diatas menjelaskan bahwa “Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”

Dasar Hukum :
I. Kewenangan Penyidikan Tunggal OJK Bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, Yakni
A. Makna Original Intend Pasal 30 ayat (4) UUD 1945
1. Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai organ konstitusional serta menelusuri aspek konstitusionalitas kelembagaan Kepolisian sebagai organ konstitusional dalam pendekatan original intend maksud dari Pembentuk
Undang – Undang Dasar 1945 amandemen dalam merumuskan lahirnya ketentuan Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945.
2. Bahwa pembahasan dalam usulan perubahan kedua UUD 1945 khususnya sehubungan dengan ketentuan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 dalam konteks penegasan fungsi kewenangan Kepolisian sebagai lembaga utama di bidang
penegakan hukum dan bagian dari integrated criminal justice system.

B. Polri Sebagai Organ Konstitusional
1. Bahwa berlakunya ketentuan Pasal a qua dalam UU P2SK yang mengubah pengaturan OJK sebagai penyidik tunggal dalam penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945
karena Polri merupakan lembaga negara yang bersifat konstitusional organ (constitution organ) dimana pengaturan fungsi, tugas dan kewenanganya dinyatakan secara langsung dalam UUD 1945, namun dihilangkan peran dan fungsi penyidikannya dalam tindak pidana sektor jasa keuangan dan dialihkan peran tersebut hanya pada OJK, padahal OJK hanya merupakan lembaga negara yang bersifat sebagai lembaga penunjang (auxiliary statate agencies/supporting system) dimana keberadaannya, tugas, fungsi dan kewenangannya hanya diatur dalam Undang-Udang bukan di dalam UUD 1945.
2. Bahwa kewenangan Polri dalam penyidikan diatur lebih lanjut dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP). Dalam ketentuan Pasal 6 Ayat (1) KUHAP menyatakan, bahwa Penyidik adalah:

(a)pejabat polisi negara Republik Indonesia; dan

(b) pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

II. Kewenangan Penyidikan Tunggal OJK Bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
A. Makna Prinsip Kepastian Hukum Yang Adil
Menurut MK kepastian hukum dalam konteks norma hukum adalah harus dihindarkan perumusan norma hukum yang tidak dapat diukur secara objektif yang dalam implementasinya membuka peluang bagi aparatur negara maupun pihak lainnya untuk berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain (vide Putusan MK 1/PUU-XI/2003).
B. Pengaturan Dalam UU P2SK Menimbulkan Ketidakpastian Hukum Pertentangan dengan Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia :
1. Bahwa UUD 1945 menetapkan bahwa Kepolisian sebagai alat negara juga memiliki tugas dalam hal….”menegakkan hukum”. Aspek “menegakkan hukum”, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
2. Bahwa Tugas menegakkan hukum, yang dimaksud dalam Pasal 13 ditindaklanjuti dengan Pasal 14 huruf g UU Kepolisian, yang menyatakan …..“melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya” Atas dasar itu, Tugas Kepolisian melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana.

Saran :
Setelah di Undang-Undangkannya UU Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) menimbulkan polemik dimasyarakat yang menyebabkan masyarakat tidak bisa melaporkan dan pengaduan dimasyarakat terkait tindak pidana tindak pidana perbankan, perbankan syariah, pasar modal, dan
perasuransian. sehingga diperlu dilakukannya Judical Review Oleh Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 49 ayat (5) tentang kewenangan tunggal OJK dalam penyidikan disektor tindak pidana keuangan. Judicial review adalah konsep hukum yang mengacu pada kekuasaan pengadilan untuk meninjau dan potensial membatalkan undang-undang, peraturan, dan tindakan dari cabang eksekutif dan legislatif pemerintahan. Tujuan dari judicial review adalah untuk memastikan bahwa tindakan pemerintah dan undang-undang sesuai dengan konstitusi atau standar hukum lainnya yang relevan dan menjaga proses demokrasi dalam hubungan saling memengaruhi antara lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dengan kata lain, pengujian UU ini berfungsi untuk menjaga mekanisme checks and balances. (Penulis : Ardiyana Fahrido P/Red)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed