oleh

Perlindungan Hukum Pidana Terhadap Korban Dari Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Seksual

-OPINI-149 Dilihat

Tangerang Selatan | Mediafonna.id – Berita mengenai Kekerasan  seksual  merupakan  isu  yang  telah lama  menjadi  perbincangan  di  tengah  masyarakat Indonesia.   Di   Indonesia   sendiri,   kata   pelecehan seksual   sudah   tidak   asing   karena   hampir   setiap tahunnya kasus pelecehan seksual terjadi.Kekerasan  seksual  berasal  dari  bahasa  Inggris  yaitu sexual hardnessyang mana kata hardness itu sendiri berarti kekerasan dan tidak menyenangkan Mengungkapkan  bahwa  kekerasan seksual  merupakan  suatu  tindakan  kekerasan  yang dilakukan  seseorang  dengan  cara  memaksa    untuk melaksanakan kontak  seksual yang tidak dikehendaki.

Kekerasan ialah salah satu perilaku yang bertentangan dengan Undang-Undang, baik hanya berupa tindakan mengancam atau tindakan yang sudah mengarah action nyata yang mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik, benda, atau juga bisa menyebabkan kematian seseorang. Pada kasus kekerasan seksual tidak hanya menyerang pada kekerasan fisik, tetapi secara tidak langsung juga menyerang mental korban. Dampak mental yang dialami korban akibat adanya kekerasan seksual ini tidak mudah dihilangkan dibandingkan dengan kekerasan fisik yang juga dialaminya, dibutuhkan waktu yang cukup lama agar korban benar-benar pulih dari kejadian yang dialaminya.

Kekerasan seksual sendiri dapat diartikan sebagai terjadinya pendekatan seksual yang tidak diinginkan oleh seseorang terhadap orang lain. Pendekatan seksual yang dilakukan pun tidak harus selalu bersifat fisik, namun juga dapat berbentuk verbal. Oleh karena itu, pelecehan seksual dapat hadir dalam berbagai bentuk, contohnya seperti pemerkosaan, menyentuh badan orang lain dengan sengaja, ejekan atau lelucon mengenai hal-hal berbau seksual, pertanyaan pribadi tentang keidupan seksual, membuat gerakan seksual melalui tangan atau ekspresi wajah, suara mengarah seksual, dan masih banyak lagi.

  1. Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Perilaku pelecehan seksual merupakan sebuah perbuatan tercela yang dapat diukur dengan adanya pelanggaran terhadap kaedah – kaedah atau norma norma yang berakar pada nilai-nilai sosial- budaya sebagai suatu sistem tata kelakuan dan pedoman tindakan-tindakan warga masyarakat, yang dapat menyangkut norma keagamaan, kesusilaan dan hukum. Dalam sebuah artikel yang berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas”, Ratna Batara Munti menyatakan bahwasanya tindak pidana pelecehan seksual tidak diatur secara jelas di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahkan tidak satu pasal pun menyebutkan kata-kata pelecehan seksual ataupun kekerasan seksual, hanya ada istilah perbuatan cabul yang diatur pada Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 Kitab Undang-Undang HukumPidana. Sedangkan perbuatan cabul sendiri dapat diartikan sebagai suatu perilaku yang tidak sesuai dengan rasa kesusilaan atau perlaku keji yang dilakukan dikarenakan semata-mata memenuhi nafsu yang tidak dapat dikendalikan. Rumusan yang dimuat dalam KUHP, secara garis besar klasifikasi kekerasan seksual terbagi atas, perzinahan, persetubuhan, pencabulan, pornografi. Terkait kekerasan seksual atau pelecehan seksual tidak diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, KUHP hanya mengatur Kejahatan Terhadap Kesusilaan.

  1. Pembuktian Kasus Kekerasan Seksual

 

Due process of law diartikan sebagai seperangkat prosedur yang disyaratkan oleh hukumsebagai standar beracara dalam hukumpidana yang berlaku universal. Alat bukti Menyatakan alat bukti berdasarkan Pasal 184 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana:

  1. a) Keterangan saksi
  2. b) Keterangan ahli
  3. c) Surat
  4. d) Petunjuk
  5. e) Keterangan terdakwa.

 

Oleh karena itu, jika terjadi pelecehan seksual, hal-hal yang dapat digunakan untuk membantu pembuktian kasus kekerasan seksual adalah kelima hal di atas. Dan untuk kasus terkait pencabulan atau perkosaan, biasanya menggunakan salah satu alat bukti berupa visum et repertum. Visum et repertum merupakan sebuah istilah yang awam di dunia kedokteran forensik. Visum berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti tanda melihat. Sedangkan repertum, berarti melapor yang artinya apa yang sudah dipeoleh dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Sehingga visum et repertum dapat diartikan sebagai melaporkan hal apa yang dilihat dan ditemukan. Apabila tidak terlihat adanya tanda kekerasan setelah keluar hasil dari visum et repertum, akan jauh lebih baik apabila dicari alat bukti yang lain agar tindakan kekerasan seksual ini dapat dibuktikan. Dan pada akhirnya keputusan mengenai apakah ini tindakan kekerasan seksual akan dikembalikan lagi kepada putusan hakim.

  1. Urgensi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual

                Dari hasil pemantauan Komnas Perempuan dari tahun 1998 hingga 2013 yaitu di Indonesia selama 15 tahun setidaknya ada 15 bentuk kekerasan seksual yaitu: a) perkosaan; b) perbudakan seksual; c) intimidasi seksual; d) prostitusi seksual; e) eksploitasi seksual; f) pemaksaan perkawinan; g) perdangan perempuan untuk seksual; h) pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi; i) pemaksaan kehamilan; j) pemaksaan aborsi; k) prenyiksaan seksual; l) kontrol seksual; m) penghukuman tak manusiawi dan bernuasa seksual; n) pelecehan seksual; dan o) praktik tradisi berkaitan seksual yang berbahaya atau diskriminasi perempuan. Kekerasan seksual dibahas secara lebih jelas pada Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Pasal 8, Pasal 47, dan Pasal 48. Dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 hanya terdapat satu jenis kekerasan seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual. Dan begitu pula keadaannya pada Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 angka 8 yang hanya mengatur mengenai eksploitasi seksual. Dari sini dapat terlihat bahwasanya sistem hukum Indonesia belum dapat memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat terkait dengan 13 jenis kekerasan seksual yang terjadi lainnya.

Kasus kekerasan seksual di Indonesia menjadi problematika sosial di masyarakat. Namun sayangnya, hukum pidana yang dibuat untuk melindungi korban kekerasan seksual masih terkesan serampangan dan tidak menunjukkan adanya keberpihakan pada korban. Hal ini, membuat banyak korban kekerasan seksual takut untuk memperjuangkan keadilan yang berhak didapatkannya. Korban kekerasan seksual takut untuk mengajukan laporan terkait kasus kekerasan seksual yang dialaminya, karena kurangnya perlindungan hukum di Indonesia yang menjamin perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Aturan hukum pidana yang telah dibuat, kurang menunjukkan keberpihakan pada korban kekerasan seksual. Terdapatnya beberapa frasa yang rancu, membuat penegakan hukum terkait kasus kekerasan seksual di Indonesia sulit untuk diterapkan. Selain itu, pada praktiknya penerapan hukum kasus kekerasan seksual di Indonesia masih menemui beberapa hambatan karena regulasi hukum yang ada beberapa kali tidak dijalankan secara tepat. Oleh karena itu, dibutuhkan regulasi hukum yang tepat untuk melindungi korban kekerasan seksual dari kejahatan yang dialaminya. Untuk kasus kekerasan seksual sendiri menjadi suatu hal yang urgensi, mengingat maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Dengan membuat udang-undang yang melindungi korban kekerasan seksual, penyelesaian terhadap kasus kekerasan seksual dan perlindungan terhadap korban kasus kekerasan seksual dapat dijalankan dengan baik. Sehingga hukum di Indonesia dapat dijalankan sesuai dengan tujuannya, yaitu melindungi seluruh masyarakat Indonesia dari kasus kejahatan.

DAFTAR PUSAKA

 Anggoman, E .Penegakan Hukum Pidana Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan.                 Lex         Crimen, Vol.8, (No.3), p.3. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/   article/view/25631/0

Brysk, A. Violence against women: law and its limits. Deusto Journal of Human Rights, (No.1),     pp.145-                173.https://doi.org/10.18543/djhr- 1-2016pp145-173.

Sibarani, S.  Pelecehan Seksual Dalam Sudut PandangUndang-undang Nomor 39 Tahun 1999       Tentang Hak Asasi Manusia. Sol Justisio: JurnalPenelitian Hukum, Vol.1, (No.1), p.98-108.       http://ojs.mputantular.ac.id/index.php/sj/article/vie w/218

(Penulis : Hana Shaqiah/Red)

 

 

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed