Tangerang Selatan | Mediafonna.id – Ferdy Sambo akan kembali diadili. Kali ini giliran Mahkamah Agung (MA) yang bakal menggelar sidang mantan Kadiv Propam Polri itu. Sidang terkait kasasi atas vonis hukuman mati dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir N Yosua Hutabarat.
Sebelumnya, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menguatkan putusan hukuman mati dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terhadap Sambo, dalam kasus pembunuhan berencana Yosua. Ferdy Sambo pun mengajukan permohonan kasasi.
“Nomor register (perkara kasasi) Ferdy Sambo 813 K/Pid/2023,” kata juru bicara MA, hakim agung Suharto, Jumat (23/6/2023).
Saya tak mengenal Sambo. Hanya tahu saja. Bahkan, saya kirim WhatsApp pun tak dibalas. Cuma dibaca saja. Sebegitu tidak pentingnya saya di mata dia. Atau memang sepertinya saya salah nomor.
Walau demikian saya prihatin atas nasibnya. Nasib yang menurut saya tak sepantasnya Sambo terima.
Bagaimana tidak, hanya karena membela harkat-martabat keluarganya, dia dijatuhi hukuman mati. Padahal, apa yang dilakukannya adalah hakikat dari peran Sambo sebagai seorang kepala keluarga, yang harus menjaga, melindungi segenap anggota keluarganya. Dari ujung kuku hingga ujung rambut.
Suami wajib melindungi istrinya bahkan diatur dalam undang-undang (UU). Tepatnya diatur pada Pasal 34 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.”
Bagi saya, apa yang dilakukan Sambo ini wajar. Suami mana yang tak kesumat mendengar kabar istrinya diperkosa? Suami mana yang nggak lakukan kekerasan fisik ketika terduga pelaku pemerkosaan belahan jiwanya, muncul batang hidungnya di hadapannya?
Yang masih pacaran saja ngamuk kalau kekasihnya diganggu orang. Ada yang dibacok, dibunuh pelakunya pun ada. Silakan cek Google kalau nggak percaya.
Korban pelecehan seksual di transportasi umum yang saudara bukan, teman juga bukan, kita bela mati-matian kok. Pun halnya dengan korban begal payudara, korban aksi eksibisionis. Sering viral ini.
Dihujat itu pelaku oleh netizen se-Indonesia raya lewat aneka ragam komentar di media sosial. Dari isi kebun binatang sampai isi septic tank keluar semua. Manusia paling hina di muka bumi lah pelaku di mata mereka.
Lantas, di mana pembelaan mereka untuk Sambo? Tak pantaskah dibela suami yang berusaha menjaga kehormatan istrinya?
Kalau ketiadaan pembelaan publik ini terjadi karena alasannya istri Sambo, Putri Candrawathi diduga selingkuh, bukan diduga diperkosa, ya tetap jangan salahkan Sambo dong.
Sambo hanya seorang suami yang berusaha menjalankan perannya dengan baik. Ia hanya sedang percaya kepada perkataan istrinya, teman hidupnya sejak puluhan tahun lalu, dari zaman susah hingga hidup mewah.
Ini hal biasa dan lumrah yang akan dilakukan suami mana pun. Coba dipikir sendiri, kira-kira apa yang Anda para suami lakukan, ketika Anda mendapatkan pengaduan bahwa istri Anda diperkosa? Marah? Pasti! Diam? Enggak mungkin!
Apalagi, terduga pemerkosa orang yang sehari-hari dekat dengan kita. Orang kepercayaannya. Ibaratnya sampai kolor-kolornya kita yang beliin, hidup hedonnya kita yang modalin.
Gimana nggak sakit hati jika perlakuan baliknya begitu? Marahnya sampai ke ubun-ubun, dari ubun-ubun bisa balik lagi mungkin. Nggak mungkin juga, setelah mendapatkan aduan tersebut, kita malah berdebat mempertanyakan validitas pengakuan istri kita. Apalagi sampai ngomong, “mari kita buktikan di pengadilan!.” Kan konyol dan mustahil terjadi.
Terlebih ini aib. Belum lagi pembuktiannya yang dinilai kompleks. Hal tersebut diakui salah seorang dosen di kampus saya, yang juga praktisi hukum.
“Perkosaan ini salah satu kasus yang sulit diungkap. (Korban) Goyang sedikit atau desah saja, bisa disebut bukan peristiwa perkosaan. Karena bisa ditafsirkan menikmati,” kata dia.
Saya paham jika pernyataan beliau hanya bergurau. Namun kalau dipikir-pikir….. Ya masuk akal juga. Serba salah memang kasus ini. Diadili (kasus dugaan perkosaannya) rumit, dibunuh (terduga pelakunya) salah, karena melanggar hukum. Sementara kalau nggak dibunuh, ini soal harga diri. Siri na pacce, demikian orang Sulawesi Selatan (Sulsel) bilang, yang artinya orang situ harus menjaga harga diri dan kokoh dalam pendirian.
Walau demikian, apa yang dilakukan Sambo sesungguhnya lebih terhormat kok. Mengapa?
Mari kita tengok peristiwa 13 tahun silam, dimana seorang yang kala itu dipercaya menjadi ketua lembaga pemberantas rasuah, jadi dalang pembunuhan berencana. Kasus pembunuhan berencana yang sudah inkrah ini (karena sudah diadili di seluruh level), dilakukan semata demi selingkuhannya. Selingkuhan yang jadi istri siri orang. Balada cinta segitiga, berujung hilangnya nyawa. Ini bukan saya yang bilang, tapi media massa, para wartawan.
Jadi dia bunuh orang, juga direncanakan, bukan demi kehormatan istri, tapi demi selingkuhan! Demi kepuasan seksual terhadap wanita lain di luar pasangan halalnya. Begitulah kira-kira konsepnya. Lucunya, hukumannya lebih ringan dari Sambo. Beberapa tahun lalu pelaku sudah kembali menghirup udara bebas, dan disambut bak pahlawan kala keluar dari penjara.
Macam orang benar lah pokoknya beliau. Jadi, ini bukan perkara seberapa tinggi pendidikan dan jabatan seseorang. Karena semua berpotensi lakukan tindakan tersebut. Dari orang yang sehari-hari makan dan hidupnya di kaki lima, sampai yang seminggu dua kali check in di hotel bintang lima (karena ikut rapat/acara sosialisasi). Dan yang paling saya heran dari kasus Sambo, kenapa putusan di tingkat pengadilan negeri dibuat seolah-olah para hakim bukan seorang suami? Padahal ketiga hakim yang memutus laki-laki, juga sudah berumah tangga. Saya percaya mereka akan berbuat yang sama ketika dihadapkan pada kondisi itu.
Terlihat tak ada pemakluman atas tindakan Sambo sama sekali, berdasarkan putusan yang mereka jatuhkan. Majelis hakim terkesan enggak coba memposisikan diri sebagai Sambo. Tak melihat dari kacamata yang ia kenakan. Padahal sebelum ini sudah banyak kasus serupa, dan minim sekali hukumannya yang sampai divonis hukuman mati.
Nampaknya mereka seperti tak cukup berani melawan arus besar keinginan publik, yang sejak awal menghakimi Sambo. Majelis hakim terkesan tak bernyali mengambil keputusan yang tidak populer di mata masyarakat.
Walau demikian, sebenarnya kondisi ini wajar. Sebab, kembali salah seorang dosen di tempat saya belajar, juga pernah menyatakan, bahwa penegakan hukum atau pembuatan putusan oleh hakim, bisa dipengaruhi oleh faktor eksternal. Misalnya, tekanan publik. Ini kebanyakan terjadi pada kasus-kasus yang sejak awal menjadi perhatian masyarakat.
Kalau sudah begini, gelar “wakil Tuhan” di muka bumi, seakan tak tampak dari para hakim tersebut. Padahal, hukum tertinggi atau konstitusi kita, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sangat tegas memerintahkan bahwa hakim harus independen dalam membuat putusan. Tak terpengaruh oleh pihak mana pun, baik yang jumlahnya sedikit maupun banyak, punya power atau tidak.
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,” demikian bunyi Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945.
UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, juga mengamanatkan agar hakim netral, independen dan merdeka dalam membuat putusan. Bunyi persisnya:
Pasal 3
(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Meski begitu, saya sadar bahwa ada das sein dan das sollen, atau teori berbeda dengan kenyataan. Ini kerap terjadi di berbagai bidang, termasuk dalam penegakan hukum.
Apalagi, di sisi lain ada teori atau sistem pembuktian yang menjadi dasar pembuatan putusan hakim bernama conviction in time. Teori ini bermakna, bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan, bisa hanya menggunakan keyakinannya saja. Jadi bisa “suka-suka” dia dalam membuat putusan. Yang penting yakin?!
Namun, perlu diingat, bahwa hakim dalam membuat putusan, juga harus mempertimbangkan kebenaran filosofis. Artinya, dalam memutus perkara, hakim harus membuat putusan yang seadil-adilnya.
Memang, dari sudut pandang korban, hukuman mati kepada Sambo sudah sangat adil. Tapi dari sisi terdakwa, apakah juga demikian? Atau memang hanya keadilan korban saja yang diberikan dalam suatu putusan hakim? Kan jelas tidak.
Kini, nasib, hidup dan mati Sambo berada di tangan hakim MA. Penulis berharap agar putusan yang dibuat para hakim agung, nantinya lebih arif, bijaksana, tak ciut terhadap tekanan publik. Saya sangat berharap hakim MA yang mengadili tidak peduli lagi tentang seberapa populer putusan yang mereka buat. Karena memang sudah sepatutnya demikian.
Ini juga mengingat, MA merupakan pengadilan tertinggi di Republik. Sehingga lembaga peradilan itu dipastikan diisi orang-orang terbaik. Para “wakil Tuhan” yang berdiri di lembaga itu merupakan sosok-sosok primus inter pares, atau the best among the best. Sehingga putusan yang dibuat seharusnya juga yang terbaik dari yang terbaik.
Terlebih, di sisi lain, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diklaim memiliki formulasi terbaik, kini telah diterbitkan. Kendati baru berlaku pada tahun 2026, ada semangat yang diakui positif yang disuarakan dalam KUHP anyar ini. Yakni upaya meninggalkan hukum pidana buruk warisan pemerintahan kolonial Belanda. Dengan cara menggeser penegakan hukum dengan mewujudkan keadilan retributif, atau penegakan hukum demi pembalasan terhadap pelaku kejahatan, menjadi keadilan restoratif/restorative justice, atau penegakan hukum yang mengedepankan pemulihan ke keadaan semula.
Semoga perpaduan ini berdampak baik bagi penegakan hukum di Tanah Air, dimana bagi saya, ujian pertamanya adalah kasus Sambo.
Semoga akhirnya kebenaran dan keadilan sesungguhnya dalam kasus itu, dapat menemukan jalannya. (Penulis : Mochammad Rizqi)
Komentar